Bahkan
di dalam hukum Islam, agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia
khususnya di Tuban, hukum suap menyuap yang disebut risywah tegas
dilarang dan diatur aturan hukumnya. Itu artinya, sejak berabad – abad
yang lalu, persoalan korupsi ini telah muncul dan menjadi permasalahan
serius.
Pada
jaman yang cenderung mengarah pada sikap materialistis masyarakat ini,
korupsi tidak hanya menjadi sebuah kejahatan. Namun korupsi dan suap
menyuap seakan telah menjadi budaya, kebiasaan, bahkan secara ekstrim
mengarah pada lingkaran ‘adat’.
Dalam
berbagai kajian, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa korupsi
merupakan sikap kelompok masyarakat yang menjadikan uang sebagai
standart kebenaran dan kekuasaan, untuk mencapai sebuah maksud
kepentingan individu maupun golongan.
Karena
suatu kepentingan yang berkaitan dengan birokrasi dan bisnis tertentu,
maka banyak pihak yang menginginkan jalan pintas dengan memberi uang
sogok. Di ranah birokrasi, perkembangan pola dan gaya hidup
materialistis mendorong para oknum mengambil langkah untuk memperkaya
diri dengan berbagai kewenangan dan kesempatan yang dimilikinya.
Budaya Koruptif dan Iklim Industri Di Tuban
Perkembangan
Kabupaten Tuban sebagai salah satu kota Industri di Jawa timur semakin
hari semakin jelas. Berbagai perusahaan lokal, nasional, bahkan
multinasional berdiri tegak di ujung barat Jawa Timur ini. Seiring
dengan pembangunan industri, tentunya banyak kebutuhan dan banyak
kepentingan dari berbagai pihak, agar misi bisnisnya dapat berjalan
dengan baik.
Di
wilayah birokrasi, tentunya banyak hal yang dibutuhkan para pelaku
bisnis. Baik dari perijinan, masalah sosial dengan masyarakat,
pengelolaan dan keberlanjutan bisnis, dan tidak bisa dihindari bahwa
politik bisnis dan kepentingan para pelaku usaha melingkar di wilayah
birokrasi. Di sinilah celah – celah suap, sogok, dan gratifikasi itu
muncul.
Contoh
sederhana, kekayaan alam di Tuban mengundang banyak investor dari luar
untuk mengeksploitasinya. Untuk memulai bisnis ini, tentunya banyak
syarat prasyarat panjang yang harus dipenuhi kaitannya dengan birokrasi
tertentu.
Ketika
pengusaha tidak mau serba repot dengan tata aturan birokrasi yang
seringkai lambat, dan secara turun menurun para oknum pegawai menganggap
adanya kepentingan pengusaha di wilayah kerjanya sebagai sebuah proyek.
Bagai ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’, kejahatan sogok menyogok itu pun
terjadi.
Belum
lagi ulah para pegawai yang tidak mau kalah kaya dengan para pengusaha,
ada sebagian dari mereka menggunakan kesempatan kekuasaanya untuk
memainkan proyek – proyek yang ada di industri terkait. Mereka membuat
legal usaha dengan nama orang lain untuk menampung berbagai macam proyek
yang dapat dimainkan dengan senjata kewenangan yang dimilikinya. Bahkan
jika kesempatan itu ada, tidak segan – segan memainkan anggaran negara
untuk melancarkan proyek usaha yang dimilikinya. Sudah bukan rahasia
umum, masyarakat banyak yang tahu, dan seolah telah menjadi sebuah
kewajaran.
Jika
ditarik garis lurus, hal ini menjadi pemicu sikap acuh para pengabdi
negara itu untuk bekerja demi kepentingan rakyat. Tanpa diakui, mereka
telah menghianati amanat sebagai abdi negara yang seharusnya secara
totalitas bekerja untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dan mereka
telah digaji dan dijamin kesejahteraannya untuk itu.
Lebih
mengerikan lagi, ketika banyak kepentingan pribadi yang masuk dalam
kinerja aparat pemerintahan, bisa jadi bukan pemerintah yang mengatur
para pengusaha yang sedang saling berkompetisi di wilayah industri
berkembang ini. Namun bisa jadi oknum pemerintah diatur oleh para
pengusaha untuk melancarkan kepentingannya, tentunya dengan imbalan yang
tidak sedikit.
Di
pihak lain, BUMN yang ada di Tuban secara sadar maupun tdak sadar telah
memberikan pendidikan yang buruk kepada masyarakat. Demi kesuksesan
imej kinerja BUMN di mata nasional, tidak jarang segala cara ditempuh
agar tidak terjadi gejolak sosial dan sikap protes yang dinilai
berakibat menyudutkan perusahaan. Tentunya, semua dapat diselesaikan
secara cantik dengan pundi – pundi rupiah.
Secara
internal, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) kiranya sangat layak untuk
diindikasikan. Mulai dari pemenangan sejumlah tender dan penunjukan
pelaksanaan pekerjaan hingga perebutan lahan bisnis, menjadi santapan
empuk para penjahat koruptif. Jual beli Surat Perintah Kerja (SPK) dan
Purchase Order (PO) marak terjadi. Masyarakat tidak sedikit yang tahu,
menjadi rahasia umum, dan seolah seperti sebuah kewajaran.
Tidak
hanya itu, proyek – proyek sosial pun menjadi lahan korup yang empuk
bagi para oknum. Memainkan kebutuhan dan kepentingan sosial masyarakat
yang berkaitan dengan perusahaan, segala hal seolah bisa diuangkan. Hal
inilah yang menjadi salah satu sebab tidak seimbangnya iklim sosial
Tuban di tengah iklim industri yang terus berkembang.
Di
tengah gaung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan usaha
pencegahan korupsi. Pendidikan koruptif di masyarakat terus berlangsung
secara konstan tanpa disadari.
Jika
banyak oknum korup di semua lembaga pemerintahan baik eksekutif,
legislatif, dan judikatif yang tumbuh subur dan terdidik oleh keadaan
secara konstan, maka tidak menutup kemungkinan rakyat Tuban hanya akan
menjadi buruh bahkan bisa dikatakan secara kasar ’budak’ di tanahnya
sendiri.
Belum
lagi para penghianat yang berkedok membela kepentingan masyarakat.
Memanfaatkan konflik industri dengan masyarakat untuk meraup keuntungan
pribadi. Tidak jarang para oknum pekerja sosial yang rela menjadi
cantrik investor untuk melancarkan kepentingan para ‘Bos’ investasi,
meski terkadang harus melindas saudaranya sendiri.
Wacana
dan logika sederhana ini bukan bermaksud menjustifikasi individu atau
golongan tertentu, namun hanya sekedar opini kecil yang diharapkan
membuka kesadaran berpikir untuk saling menjaga dan mencegah kejahatan
korupsi di Bumi Ronggolawe. (iim sahlan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar