
Gajah sumatera misalnya, setiap tahun, data pembunuhan terhadap binatang berbelalai dan bergading tersebut masih terus terjadi. Satwa bertubuh besar tersebut tidak hanya diburu untuk diambil gadingnya lalu dijual di pasar gelap, tapi juga dibunuh karena dinilai kerap mengganggu perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Aktivis lingkungan di Aceh, Ratno Sagita, Jumat (7/6), menyebutkan,
data yang berhasil dikumpulkan tahun 2012, sekitar 15 bangkai gajah
sumatera ditemukan di sejumlah provinsi. Gajah-gajah tersebut
kemungkinan besar dibunuh. Jumlah tersebut, tambah Ratno, jauh lebih
tinggi daripada tahun 2011 yang hanya ditemukan sekitar lima ekor gajah
yang mati.
“Dibandingkan antara tahun 2012 dengan tahun 2011,
terjadi kenaikan jumlah kematian gajah sekitar 10 ekor, jumlah tersebut
hanya yang bangkainya ditemukan,” sebut Ratno.
Ratno mengatakan, gajah biasanya dibunuh dengan cara diracun untuk
diambil gading atau dibunuh karena dianggap sebagai hama yang merusak
perkebunan.
“Khusus di Aceh, karena pembukaan perkebunan dengan
membuka kawasan hutan secara tidak terkendali telah mempersempit kawasan
hutan untuk gajah, akhirnya gajah tersebut mencari makan di perkebunan
karena memang itu wilayah lintasan mereka. Karena dianggap mengganggu
lalu gajah-gajah tersebut dibunuh,” sambung Ratno.
Ratno menyebutkan, pada 2012, sejumlah daerah di Aceh ditemukan bangkai
gajah, seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh
Selatan. “Banyaknya gajah yang mati sebenarnya karena lemahnya penegakan
hukum terhadap pelaku, karena pelaku tidak pernah ditangkap dan
diproses sesuai dengan hukum,” ujar Ratno.
Ratno menambahkan, sebagian besar gading gajah dari Aceh biasanya
dijual ke Medan, Sumatera Utara, dengan harga yang sangat tinggi,
kemudian dari Sumatera Utara, gading gajah tersebut dibawa ke luar
negeri melalui pelabuhan-pelabuhan kecil.
“Harga gading gajah di pasaran gelap di Sumatera
Utara saat ini sekitar Rp 20-60 juta per kilogram, tergantung ukuran dan
berat gading tersebut, semakin besar gading, maka harganya akan semakin
mahal,” tambah Ratno.
Ratno juga mengatakan, sejak 2003 hingga 2013 belum pernah terdengar
adanya proses hukum terhadap penangkap, pemburu, dan pemelihara atau
penjual satwa yang dilindungi di Aceh.
“Hal ini sangat aneh, sesuai dengan undang-undang,
BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) bertugas menjaga keselamatan
satwa liar yang dilindungi, dan menindak pelaku pemburu atau pemelihara,
tapi mereka tidak pernah menindak tegas pelakunya,” sambung Ratno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar